lapangan utama istana, Jaleb Chowk cukup lumayan membuat lelah. Ditambah pula dengan suhu
yang menyengat pada siang hari karena Jaipur memiliki iklim gurun. Untuk yang punya uang lebih, bisa menaiki gajah dengan biaya 900 Rupee. Tapi kalau ingin sembari memotret sepuasnya berjalan kaki saya rasa adalah pilihan terbaik.
Danau di depan Amber Fort |
saya tertarik
pada hamparan air warna hijau yang
tertampung dalam sebuah danau indah bernama Maota Lake yang berada di dasar bukit. Refleksi kemegahan benteng ini bisa
terlihat di sana. Benteng kokoh ini sudah berdiri semenjak tahun 1592 dan dibangun oleh Raja Man Singh II dengan perpaduan gaya arsitektur Hindu–Islam yang kental. Dahulu Maharaja yang memimpin negeri Rajput tinggal di dalam Amber Fort ini. Benteng ini terlihat gagah begitu saya
mendongakkan kepala ke atas. Begitu tangan
saya meraba bangunan, dindingnya terasa kasar karena dibuat
dari pasir dan bata merah yang tersusun kokoh dan rapi. Tidak seperti Red Fort yang
berwarna merah terang, Amber Fort menawan dengan warna tembok yang kuning
kecoklatan.
Gajah yang digunakan untuk mengangkut wisatawan di Amber Fort |
Sebelum terus naik ke atas, saya menyempatkan diri
sejenak untuk menikmati indahnya taman dan lapangan yang terhampar di sekitar
Jaleb Chowk ini. Termasuk sebuah kuil bernama Kali Temple yang menyimpan patung singa
perak dan patung Ganesha yang terbuat dari koral utuh. Konon patung singa ini diambil dari dasar lautan Jassore di
Bangladesh dan dipuja oleh Raj Jai Singh I demi memenangi pertarungan melawan
raja Bengal. Seperti biasa, saya selalu terkesan dengan arsitektur
yang rumit namun
selalu simetris.
Pintu gerbang di Amber Fort |
Jalur bagi gajah dan manusia berbeda di Amber Fort. Gajah melewati
jalan yang lebih landai dan masuk dari gerbang belakang sementara manusia harus
melewati ratusan anak tangga menuju keatas dan melewati gerbang depan. Jangan
ditanya betapa teriknya matahari Jaipur siang itu. Keringat sudah
membasahi kaos yang saya pakai. Perjuangan saya untuk sampai ke atas dan masuk
ke dalam benteng
merupakan pencapaian yang luar biasa. Disambut
dengan pintu super besar dan dua buah meriam serta lapangan luas yang terhubung dengan gerbang untuk menuju bangunan lain. Sampai di sini kita masih belum diharuskan membayar, namun jika ingin terus kita mesti membeli tiket
seharga 500 rupee.
Pintu masuk ke Amber Fort |
Saya sungguh terpukau
dengan Amber Fort, bangunan yang masuk ke dalam warisan budaya UNESCO itu. Berbagai macam ukiran yang dibuat sangat halus serta sangat mendetail, membuat saya terus bertanya dalam hati seperti apakah proses pengerjaannya dahulu.
Tukang Jalan Jajan, Patel, Alwa Kwan di Amber Fort |
Empat bagian dalam istana harus dinikmati semua, mulai dari taman, kuil, istana serta benteng. Jangan lupa pula mencari motif magic flower terukir dalam ornamen marmer di dalam istana. Magic
flower ini berbentuk
bunga tapi jika kita jeli memperhatikan akan
muncul tujuh motif yaitu
ekor ikan, teratai, ular kobra, belalai gajah, ekor singa, tongkol jagung, dan
kalajangking. Caranya adalah dengan menutup
sebagian dari dari ukiran marmer tersebut dan nanti
akan terlihat motif yang akan diinginkan.
Gajah yang digunakan untuk mengangkut wisatawan di Amber Fort |
Patel yang
berasal dari India saja terperangah dengan keindahan arsitektur yang ada di Amber Fort, Jaipur. Apalagi
saya yang dari Indonesia. Sembari berjalan turun, ia bercerita bahwa setiap
sudut dari India memiliki kekhasan yang berbeda dengan corak budaya
yang beragam pula. Terdengar mirip seperti Indonesia
yang juga memiliki banyak pulau dengan ciri budaya yang
berbeda.
Melihat komplek Amber Fort dari atas benteng |
Lelah saya siang itu terbayar dengan keindahan tempat itu. Selama di dalam Amber Fort ini, beberapa penjual payung dan
tukang foto langsung jadi akan terus memaksa membeli barang dan jasanya dengan
segala cara. Seperti biasa pedagang India memang
selalu ngotot. Sembari turun, di beberapa sudut juga terlihat penjual makanan kecil seperti
manisan yang terbuat dari susu dan tapioka.
Saya sempat mencicipinya, terasa sangat manis dan harum begitu pecah di dalam mulut.
Amber Fort di lihat dari bawah bukit |
Menuruni tangga-tangga di Amber Fort lebih mudah
dari pada ketika naik,
tapi tetap berhati-hatilah karena tangganya cukup licin. Belum lagi saya juga
melihat barisan peminta-minta dan gelandangan yang berteriak-teriak “menuntut” belas kasihan. Entah
bagaimana mereka bisa bertahan dari panas yang terik itu.
Suraj Pol, menuju ke lapangan utama istana |
Sampai di pintu
keluar saya langsung dicegat penjual aksesoris dan berbagai macam buah tangan. Biasanya mereka berusaha ramah dan bertanya
dari mana asal negara kita kemudian berusaha
menyapa dengan bahasa asal negara untuk membuat kita terkesan. Cara seperti tidak akan mempan untuk saya. Segera saya berlalu
dengan cepat menuju rickshaw yang sudah menunggu di depan gerbang Amber Fort.
Benteng Amber Fort di lihat dari tangga |
- Mukhwas biasanya disajikan di bagian akhir saat selesai
makan di restoran. Itu artinya kita sudah selesai dan tidak menambah makanan
lagi. Biasanya akan disajikan berbarengan dengan tusuk gigi dan bon makanan
Taman di atas danau Amber Fort |
- Mukhwas adalah penyegar mulut dan memperlancar pencernaan
- AmberMukhwas
biasanya terdiri dari campuran beberapa rempah serta minyak atsiri plus
gula balok. Dan bahan yang umum digunakan adalah saunf atau biji
adas halus (Anethum graveolens) dan biji bunga lawang atau
pekak (Pimpinella anisum), biji wijen putih (Sesamum indicum/Sesamum
orientalis), dhania dhana atau inti biji ketumbar (Coriandrum
sativum) yang disangrai dan disalut garam, lachcha supari atau
cacahan biji pinang sirih (Areca catechu) yang diberi perasa, mishri
atau gula kristal kecil, illaichi atau biji kapulaga hijau (Elettaria
cardamomum), dan gulkand yaitu manisan atau selai kelopak mawar
(Rosa L.).
, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.