Beberapa hari ini, aku baru saja menuntaskan buku Memilih (Menjadi Investor) Bahagia yang inspiratif banget. Buku bercover warna hitam dengan font judul simple dan ilustrasi sederhana menarikku untuk membacanya. Bukan karena desain covernya, melainkan karena judulnya. Dari jauh, yang terlihat adalah ‘Memilih Bahagia‘ karena fontnya dibuat lebih besar dan kontras. Wah, aku suka nih, kalau ada buku yang judulnya ‘bahagia bahagia’ begini. Aku lagi butuh bacaan yang inspiratif akhir-akhir ini. Dan, ternyata aku nggak salah pilih.

Meskipun aku belum terlalu mengerti tentang dunia investasi, membaca buku ini bikin aku tersentil berkali-kali. Bukan karena aku nggak berpikir tentang masa depan, ya, tetapi karena artikel-artikel awal di buku ini membahas bagaimana kita kurang tertawa dan menikmati hidup. Artikel pertama dalam bab pertama dari buku ini saja sudah menyentil sekali. “Lupa Tertawa”. Lalu judul keduanya “Balada Mati Air”.
Aku langsung berpikir, ini kok buku tentang investasi tapi bahasannya begini? Nggak ada hubungannya sama uang atau investasi. Apakah ini lelucon? Mungkin karena melihat beberapa judul lain di daftar isi buku ini yang benar-benar tentang hal-hal ringan, aku memutuskan untuk meneruskan membacanya dan akhirnya menulis reviewnya di sini. Aku rasa ini adalah buku yang bagus buat kita baca di waktu senggang tentang bagaimana akhirnya kita harus bangkit di tengah pandemi.
Ada quote bagus yang kukutip dari buku ini.
Sebagai manusia dewasa, kita telah kehilangan kemampuan untuk tertawa….Seakan kita lupa caranya tertawa karena beban hidup dan stres. (Warsono, 2021: 6)
Berhenti mengeluh dan mulailah hidup. Pikiran kita lebih baik direservasi untuk perkara besar hidup. Selain itu? Kita pakai sebagai bahan tertawa saja. (Warsono, 2021: 6)

Dari 2 quote di atas yang kukutip dari artikel pertama dalam buku ini, aku sempat berpikir apakah buku ini semacam Chicken Soup yang berisi banyak kisah-kisah hangat tentang kehidupan sehari-hari? Aku rasa begitu. Wuddy Warsono selalu mengilustrasikan banyak hal dalam kehidupannya lalu menggiring kita sebagai pembaca untuk akhirnya mengetahui tentang kompetisi dan investasi. Begitulah polanya dalam menulis. Sangat sederhana.
Di salah satu bab buku ini, aku juga tersentil tentang dunia kerja. Ini isu hangat bagi generasi milenial sepertiku. Permasalahan work-life balance selalu dipertanyakan lantaran sebagian besar orang bekerja penuh waktu di kantor selama 8 jam (belum dihitung lembur) lalu sisanya seharusnya adalah waktu untuk keluarga. Namun, tak pernah cukup bukan? Karena semua orang asyik dengan smartphone. Seperti kata penulis, “Dan kita masih suka berkeluh-kesah mengenai tidak cukupnya waktu bersama keluarga.”
Hmm…menarik sekali ya. Aku mengutip lagi satu konklusi penting tentang dunia kerja yang tak ada habisnya ini.
Mungkin yang kita perlukan bukan “work-life balance” melainkan “work-life presence”. (Warsono, 2021: 21)

Wew, aku merasa dunia ini jungkir balik. Kok ya nggak pernah kepikiran ya. Iya, bukan work-life balance yang kita butuhkan, tetapi menukarnya dengan work-life presence. Kadang kita lupa, setelah lelah bekerja, kita memilih untuk menghabiskan waktu dengan melihat social media, nonton video-video di Youtube, atau main game online. Lalu dengan sarkasnya kita mengeluh bahwa pekerjaan kita nggak seimbang dengan hidup. Padahal nggak ada yang salah dengan pekerjaan. Yang salah adalah apakah kita memanfaatkan waktu di luar pekerjaan itu dengan kehadiran bersama keluarga atau orang-orang tersayang. Jadi memang bukan work-life balance akar masalahnya. Tapi tentang kehadiran kita itu sendiri.
Ini senada dengan bab lain di buku ini.
Kita tidak mungkin kehilangan sesuatu yang bukan milik kita. Dan masa lalu maupun masa depan sebenarnya bukan milik kita. Satu-satunya yang menjadi milik kita itu adalah present moment atau masa kini. Mesti diingat bahwa masa kini memiliki masa kedaluwarsa. (Warsono, 2021: 97)
Sekarang kamu tahu kan arah topik tulisan ini ke mana? Ya, tentang bagaimana kita mengembangkan hidup hari ini. Lebih baik, baca sendiri buku ini, ya.
Aku semakin jatuh cinta dengan kisah-kisah hangat di dalam buku Memilih (Menjadi Investor) Bahagia. Rasanya bukan berbunga-bunga seperti baca novel romansa. Tapi lebih dalam untuk memahami kejadian sehari-hari dalam hidup kita.

Wuddy sebagai penulis buku ini bukanlah orang yang sempurna dan seolah tahu semua seluk-beluk kehidupan. Bukan sama sekali. Justru karena membaca bab demi bab di buku ini, aku bisa melihat bagaimana Wuddy berproses dari segala kejadian yang ia alami. Kelebihannya adalah pemikirannya terlalu dalam. Apa aja dipikirin. Nonton film bioskop, air yang mati di rumah, tentang gombalan Dilan, rem mobil, drama Korea Start Up, film Parasite, pandemi, tahun baru, dan sebagainya.
Yang membuatku bertanya-tanya, kok bisa ya Kak Wuddy Warsono ini berpikir sejauh itu? Dia filsuf? Tentu saja bukan. Kelebihannya adalah dia banyak membaca buku, nggak cuma tentang investasi dan perbankan. Dan ketika pelajaran hidup yang sulit bahkan sesederhana air yang mati di rumahnya dan rem mobil yang bermasalah, penulis dengan mudahnya berpikir tentang hidup yang bukan lagi milik kita.
Kita tidak perlu menunggu untuk sukses secara karier agar bahagia. Sebab, kebahagiaan datang dari dalam, bukan dari apa yang kita capai. (Warsono, 2021: 28)
Berfokus pada hal-hal positif dan indah bukan hanya membuat kita lebih bahagia, tetapi juga mengundang masuk datangnya hal-hal yang positif dan indah lainnya. (Warsono, 2021: 36)
Judul Buku: Memilih (Menjadi Investor) Bahagia
Penulis: Wuddy Warsono, CFA
Penerbit: Elex Media Komputindo
Harga: Rp150.000,00

, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.