Dulu, rasanya iklim mudah sekali ditebak. Januari – Juni adalah musim panas,
sedangkan Juli – Desember masuk musim hujan. Almarhumah tante saya pernah
bilang bulan yang berakhiran -ber itu artinya musim hujan.
November, masih aja terasa gerah dan sangat jarang hujan. Banyak kejadian
mengejutkan dan mengkhawatirkan akibat krisis iklim.
Harmoni Bumi” karya ibu Amanda Katili Niode, Ph.D. Dari buku ini, saya
mencatat banyak poin penting yang menyentuh hati saat membacanya. Mari
saya ulas satu per satu.
Story Telling tentang Mengenal dan Mencintai Bumi hingga Krisis
Iklim
Beberapa tahun yang lalu, saya mulai menyimak tentang
storytelling, dan bagaimana metode ini membantu komunikasi krisis
iklim. Bertutur tentang berbagai kisah, sekarang dianggap sebagai bagian
dari solusi krisis iklim. Fakta dan data saja, tulis Mauro Buonocore di
situs Climate Foresight, tidak cukup untuk membuat masyarakat sadar akan
perubahan iklim. Guna mendapatkan perhatian penuh dan membuat masyarakat
paham, perlu penuturan kisah atau storytelling yang menggugah.(Dalam
Dekapan Zaman, Bab 07 – Membawa Perubahan dengan Kata, Hal 213)
perjalanan ibu Amanda Katili sebagai sosok yang aktif dalam bidang
lingkungan hidup, perubahan iklim, dan keberlanjutan (sustainability).
Perjalanan panjang selama 50 tahun berperan aktif menjaga bumi.
Buku ini memiliki tebal lebih dari 400 halaman. Terbagi dalam prolog,
11 bab, dan epilog. JAngan abaikan juga 16 testimoni dari para tokoh ternama
yang peduli dengan berbagai isu lingkungan hidup.
Tentu bukan
seperti buku saku yang mudah dibawa ke mana-mana. Tetapi, sejak membuka
halaman pertama, saya merasakan narasi yang kuat. Berasa seperti sedang
mendengarkan bu Amanda bercerita perjalanan hidupnya. Jadi, ini bukan
membosankan, justru saya menikmati buku ini halaman demi halaman.
Masih
di Bab 07 – Membawa Perubahan dengan Kata, storytelling dikatakan
tidak hanya dalam bentuk tulisan. Tetapi, bisa juga dalam bentuk komik,
grafis, atau lainnya. Seperti yang disampaikan
Dr. Dwinita Larasati, Pengajar pada Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Teknologi Bandung dan juga climate reality leader,
ada 4 langkah yang perlu dituangkan secara visual, yaitu
- Pesan apa yang ingin disampaikan?
- Bagaimana informasi akan disampaikan? Dengan cara lucu, terkejut, atau lainnya?
- Siapa yang menjadi target audiens?
- Kapan pesan itu akan disampaikan?
Sebagai blogger, apapun niche-nya, saya rasa juga bisa menerapkan 4
langkah tadi. Misalnya, sebagai food blogger bisa membuat tulisan
tentang limbah pangan (food waste).
Menurut Indeks Keberlanjutan Pangan dari Economist Intellengence Unit,
beberapa tahun lalu, Indonesia adalah pembuang makanan terbesar kedua di
dunia dengan hampir 300 kg makanan per orang setiap tahun. Bandingkan
dengan Saudi Arabia sebesar 427 kg dan Amerika Serikat sebesar 277
kg.(Dalam Dekapan Zaman, Bab 10 – Mengangkat Citra Kuliner
Lokal, Hal 311)
Miris, ya! Di saat masih banyak masyarakat yang untuk makan aja susah
karena tingkat ekonomi, tapi peringkat limbah pangan terbesar kedua di
dunia. Konten-konten tentang kuliner saat ini sedang banyak digemari. Kita bisa
membuat konten dari 4 langkah tadi. Jangan sekadar ngonten, tapi kemudian
tidak dihabiskan makanan/minumannya. Buatlah konten yang positif untuk
diikuti oleh audiens.
Nah, ternyata salah
satu penyebabnya bisa berasal dari pembusukan sampah makanan yang kemudian
menghasilkan gas metana. Lapisan ozon jadi semakin tipis. Suhu bumi pun
meningkat. Bisa berimbas ke kesehatan masyarakat hingga perekonomian.
Jadi, dampak food waste memang tidak sepele.
Mencintai Bumi dengan Mulai Mengenal Nilainya
Dalam sebuah percobaan di Jepang, tulis Jill Sutie untuk Mind &
Body, peserta diminta untuk berjalan kaki di hutan atau di pusat kota
untuk kemudian diukur detak jantung dna tekanan darah masing-masing.
Mereka juga diminta mengisi kuesioner tentang suasana hati, tingkat
stress, dan aspek psikologis lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
mereka yang berjalan di hutan memiliki detak jantung yang secara
signifikan lebih rendah, sikap yang lebih santai, serta suasana hati
yang lebih senang dibandingkan yang berjalan di perkotaan.(Dalam
Dekapan Zaman, Bab 01 – Mengenal Bumi, Nilai, dan Nasibnya, Hal
07)
Ketika membaca paragraf tersebut, saya tersenyum dan berpikir. Hmmm …
mungkin itu juga yang membuat suami saya lebih bersikap santai dan senang
dibandingkan istrinya. Jadi inget zaman kuliah, suami dibilang anak gunung
dan saya anak kota oleh teman-teman. Kemudian, beberapa teman kaget ketika
saya mulai ikutan hobi suami jalan-jalan di alam terbuka. Bahkan saya
mulai naik gunung pertama kalinya ketika usia hampir 35 tahun.
Saya sendiri juga gak pernah berpikir suatu saat akan naik
gunung. Apalagi di atas usia 30 tahun. Bawa anak-anak pula yang masih pada
kecil. Tapi, ternyata saya sangat menikmatinya. Meskipun mengklaim sebagai
pendaki kura-kura karena saya mendaki dengan sangat lambat.
Apakah Aku seorang aktivis perubahan iklim?(Dalam Dekapan
Zaman, Bab 02 – Menggalang Memoar untuk Bumi, Halaman 57)
Dalam tulisan berjudul “Aktivis Iklim dan Pelaku UMKM”, mbak
Karida Humaira Niode menceritakan mengalamannya di berbagai
aktivitas tentang perubahan iklim. Tetapi, di bagian akhir tulisan ada
pertanyaan yang ditujukan untuk diri sendiri, “apakah Aku seorang aktivis
perubahan iklim?”
di mana pun kita berkiprah.
Menurut saya pribadi, seorang pecinta alam tidak hanya untuk mereka yang
senang naik gunung. Bahkan faktanya, ada beberapa pendaki yang masih
kurang tanggungjawabnya. Misalnya, naik gunung hanya untuk konten. Padahal
tetap buang sampah sembarangan.
Pecinta alam sejatinya benar-benar mencintai dan menjaga bumi di mana
pun dia berada. Misalnya, lebih memilih naik transportasi umum daripada
membawa kendaraan pribadi, menanam tanaman di halaman, bijak penggunaan
plastik, dan lain sebagainya.
Pada bab 08 – Menginspirasi Melalui Climate Coaching, hal 245, Dr. Isabel
Rimanoczy, pionir Sustainability Mindset for Coaches menganjurkan latihan
One Hour in Refflective Essay. Setelahnya, pelaku diminta menulis apa yang
dialami dan dirasakan selama 1 jam tersebut. Tentunya, ada 9 syarat yang
harus dipenuhi untuk berdiam diri di alam terbuka selama 1 jam, yaitu:
- Tanpa telepon seluler
- Tidak membawa hewan kesayangan
- Tiada teman atau pasangan
- Bukan sambil mengendarai sepeda
- Tidak sambil berolahraga
- Jangan di halaman rumah sendiri
- Tidak sambil makan atau piknik
- Jangan membawa catatan atau menulis
- Tanpa membawa dan membaca buku
Tetapi, bukan berarti saya tidak berusaha mencoba. Ya,
meskipun ada beberapa persyaratan yang tidak saya penuhi. Saya perginya
ditemani suami. Tetapi, tetap ada beberapa hal yang bisa saya rasakan dari
perjalanan tersebut.
Kami mendatangi Taman Ria Rio di Pulo Mas, Jakarta. Taman ini menjadi ruang
terbuka untuk berolahraga, sekadar duduk, piknik, bahkan ada juga yang
gathering. Selain memiliki waduk, keunikan di sini adanya 2 pohon baobab
yang sangat besar.
2020. Sebelum Covid-19 masuk Indonesia. Pada saat itu, daunnya sedang
tumbuh dengan lebat. Kunjungan kami kali ini, pohon baobab sedang
meranggas. Bahkan di salah satu pohon sudah tidak terlihat daun sama
sekali.
Entah sudah berusia berapa tahun pohon Baobab di
taman ini. Pohon baobab dikenal sebagai pohon yang berumur sangat
panjang. Bisa ribuan tahun usianya. Saya jadi membayangkan, andai
pohonnya bisa bercerita tentu banyak sekali yang bisa diceritakan.
keteduhan. Tetapi, bukan berarti tidak menikmati suasana di sana. Saya pun melakukan beberapa pengamatan.
Ada lansia yang sedang taichi sendirian. Ada sepasang suami istri mengajak anaknya yang berusia balita bermain bubble. Banyak
sekali burung burung kutilang dan cecuruk beterbangan. Bahkan banyak yang terbangnya rendah seolah-olah sudah berbaur dengan manusia di taman.
Hal menarik lainnya, ada
seekor kucing yang terus mendekati dan mengelilingi saya. Lucunya setiap
kali saya mau fotoin, dia malam menghindar dan semakin menempel ke saya.
Bahkan kucingnya malah tertidur ketika saya ingin berfoto dengan buku
Dalam Dekapan Zaman. Ya udah, saya elus-elus dan biarkan dulu sampai
terbangun.
Bersyukur banget di tengah kota Jakarta masih bisa
menikmati taman. Meskipun tidak sesejuk pegunungan. Tetapi, saya tetap
masih bisa menikmati. Bayangkan kalau bumi dalam kondisi baik. Tentu
akan semakin nikmat berada di alam terbuka seperti ini.
Peran Pemuda Dalam Menghadapi Krisis Iklim dan Pembangunan
Berkelanjutan
pada Bab 11 – Menjalin Kolaborasi Pemuda. Saya mempunyai 2 anak yang
saat ini sudah kuliah. Tentu menarik mengetahui peran pemuda dalam hal
menghadapi krisis iklim dan pembangunan berkelanjutan.
Sebagai
orangtua, saya selalu mengajarkan anak-anak untuk menyayangi bumi. Kami
sering berdiskusi. Keke dan Nai juga pernah ikut menyuarakan suara
keresahan mereka akan krisis iklim. Biar bagaimana pun masa depan para
pemuda masih panjang.
Para pemuda yang akan paling merasakan
dampak dari krisis iklim. Oleh karena itu mereka perlu didengar
suaranya, diajak berkolaborasi, bahkan diberikan kesempatan untuk
memimpin.
Salah satu yang menarik dari bab ini adalah
catatan berjudul “Makna Sukarelawan Bagi Seorang Bankir” yang
ditulis oleh Terzian Ayuba Niode. Semu profesi bisa berperan.
Dalam dunia perbankan dan jasa keuangan mulai bergerak menuju
net zero emission.
Kesimpulan Buku “Dalam Dekapan Zaman – Memoar Pegiat Harmoni
Bumi”
Memoar yang bagus sifatnya sensitif dan pembaca akan terhubung dengan
suara kejujuran itu pada tingkat emosional. – Samanta Clark, Penulis
dan Artis(Dalam Dekapan Zaman, Epilog – Perjalanan Tak
Berakhir, Hal 362)
Seperti sedang mendengarkan bu Amanda sedang bercerita dan saya serius
menyimak. Setelah membaca tuntas, saya memiliki 3 kesimpulan tentang
buku ini, yaitu
Peran Keluarga Sangat Penting untuk Mencintai Bumi
“Apa judul disertasi papa?”(Dalam Dekapan Zaman, Bab 01 –
Mengenal Bumi, Nilai, dan Nasibnya, Hal 3)
Dengan fasih dan sedikit cadel, ibu Amanda yang saat itu berusia 3
tahun menjawab, “Geological Investigations on The Lassie Granite Mass
Centra Sumatera.” Padahal saat itu ibu Amanda belum bisa berbahasa
Inggris. Mengerti disertasi aja enggak.
Mungkin terkesan
sedikit aneh bagi yang tidak paham. Anak kecil, kok, ditanya tentang
disertasi meskipun cuma judul? Tapi, sebetulnya bukan untuk memaksakan
ilmu yang belum waktunya. Itu adalah salah satu bentuk komunikasi dan
kedekatan orangtua ibu Amanda kepada putrinya.
Di halaman
awal Bab 03 – Mengukir Landasan Pendidikan juga diceritakan ibu Amanda
yang terancam tidak naik saat kelas 5 SD karena kebanyakan main. Ibunya
tanpa malu memohon kepada wali kelas untuk memberikan kesempatan kepada
putrinya. Akhirnya bisa naik kelas dengan masa percobaan. Tidak terlihat
sedikit pun terlihat orangtua ibu Amanda menghakimi putrinya. Bahkan,
satu per satu prestasi diraih ibu Amanda.
Kedekatan orangtua
dan anak juga dilakukan oleh ibu Amanda dan suami kepada 3 anaknya.
Selalu mendukung aktivitas anak-anaknya.
Saya pun berkesimpulan peran keluarga memang sangat penting.
Tentu juga ada pengaruh lingkungan. Tetapi, madrasah pertama anak adalah
dari keluarga. Dan, ini membangkitkan semangat saya untuk selalu
mendukung anak.
Buku yang Memberikan Semangat dan Menginspirasi
background keluarga ibu Amanda. Kakek dari pihak ibu, Abdul Uno,
adalah Inspektur Kehutanan di zaman Belanda. Bertugas menghutankan dna
menjaga lingkungan di kawasan Indonesia Timur.
Kemudian mengetahui pendidikan dan pekerjaan orangtua ibu Amanda,
suaminya, hingga ketiga anaknya. Tentu pendidikan dan pekerjaan ibu
Amanda termasuk di dalamnya. Membuat saya berkali-kali merasa ‘wow’
sekaligus minder.
Kalau bahasa zaman sekarang, saya berasa
kayak ‘remahan rengginang’. Rasanya perjalanan saya mencintai dan
menjaga bumi tidak sehebat ujung kuku dari yang ibu Amanda dan keluarga
lakukan.
Dekapan Zaman. Tidak sekadar menceritakan pengalaman pribadi dalam
mendalami ilmu lingkungan, perubahan iklim, dan keberlanjutan. Di
beberapa bagian, perasaan saya pun tersentuh dan tergerak. Makanya, saya
menuliskan beberapa pengalaman pribadi di artikel ini.
Buku
ini juga mengajak kita semua untuk berperan aktif menjaga bumi. Sekecil
apapun profesi kita, apapun perannya pasti berharga. Tidak hanya dalam
bentuk aksi seperti membuang sampah pada tempatnya, mengurangi limbah
makanan, dan lain-lain. Kita semua juga bisa bantu menyuarakan di
berbagai platform media sosial, blog, pentas teater, sosialisasi ke
lapangan, dan lainnya.
Siapa lagi yang seharusnya menjaga
bumi kalau bukan kita semua? Menjaga bumi bukan lagi pilihan, tetapi
sudah menjadi kewajiban. Apalagi kondisi bumi saat ini sedang tidak
dalam kondisi baik
Setiap tindakan kecil membawa dampak besar dalam jangka panjang(Dalam
Dekapan Zaman, Epilog – Perjalanan Tak Berakhir, Hal 363)
Optimis Masa Depan Bumi yang Lebih Baik
Akankah bumi akan kembali baik-baik saja? Apakah bumi akan kembali
sehat?
Saya seringkali merasa pesimis. Sedih, apalagi kalau
sudah ingat anak-anak. Tetapi, membaca buku Dalam Dekapan Zaman – Memoar
Pegiat Harmoni Bumi, muncul rasa optimis. Membaca aktivitas berbagai
tokoh dan komunitas yang bergerak untuk buku, harapan itu sepertinya
masih ada.
Tentunya, kembali lagi, semua harus ikut berperan.
Sekecil apapun perannya. Terus berikhtiar menjaga bumi sampai kapan pun.
Ikhtiar kita belum usai.
, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.