
Namanya memang Gunung Batu. Tapi bukan berarti cuma ada bongkahan batu tegak dan cadas setinggi sekitar 250 meter yang setia menunggu dicumbu lagi oleh para pemanjat tebing alami. Gunung berdiri tegar setinggi 875 Mdpl di Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat ini senantiasa dijaga elang yang resah mengawasi arena bermainnya itu siang malam.
Kaki tebing gunung ini pun dihijaukan sedikit hutan, termasuk hutan hasil reboisasi. Pepohonan di dalamnya lumayan tinggi-tinggi, bercampur dengan semak belukar. Tapi tidak serapat hutan asli dataran rendah.
Kendati begitu, hutannya itu berguna menjadi tempat singgah bahkan sarang sejumlah burung. Sayangnya jumlah burung di kawasan ini sepertinya semakin berkurang, akibat perburuan.
Buktinya di beberapa rumah warga setempat, ada yang memelihara burung-burung hias nan cantik, elok dipandang. Ukurannya kecil dan bulunya ada yang berwarna cerah biru, kuning, dan merah.
Setiap burung dikurung dalam sangkar kayu yang lumayan bagus.
Ketika ditanya dari mana burung-burung tersebut, seorang warga tanpa sungkan mengatakan beberapa dari hasil menangkap di hutan Gunung Batu dan sekitarnya.
Mendengar jawabannya, saya langsung teringat kisah serupa yang terjadi di hutan Gunung Beuti Canar dan sekitar Talaga Bodas di Garut, masih Jawa Barat. Di sana juga dikabarkan kerap terjadi perburuan burung-burung hias sejak lama.

Setiap kali melihat burung-burung mungil berbulu warna-warni itu dalam sangkar, entah mengapa selalu hadir rasa iba.
Burung yang dikurung itu memang tidak perlu susah payah mencari makan untuk menyambung hidup. Pemiliknya sudah menyediakan makanan dan minuman. Itu jika pemiliknya baik. Tapi bagaimana kalau dia jahat atau seketika waktu lupa memberi makan dan minum burung malang itu? Alangkah menderitanya dia.
Menyandera burung di dalam sangkar semewah apapun lengkap dengan makan dan minum yang lebih dari cukup, tetap saja telah merampas hak asasinya sebagai burung. Bagaimana tidak, keberadaan kedua sayapnya jadi sia-sia. Sebutannya sebagai burung, tak berarti lagi. Sebab dia tidak bisa bebas terbang di langit luas, kemanapun dia suka. Bukankah itu sejatinya mahluk bernama burung?
Dia semestinya tinggal di alam raya, menemukan jodohnya, bercinta, dan memelihara keturunannya sampai anak-anaknya tumbuh besar, memiliki sayap yang kuat, dan bisa terbang mandiri.
Sayangnya banyak orang yang tidak menyadari itu. Dengan berbagai alasan, mereka mencabut kehidupan hakiki burung itu, memenjarakannya. Ada yang mengatasnamakan hobi, kesenangan, keyakinan bisa menjaga sang pemiliknya dari santet, dan lagi-lagi karena nilai ekonomi burung itu yang cukup menggiurkan, membuat orang tega begitu. Kabarnya seekor burung hias apalagi bersuara merdu harganya bisa jutaan rupiah.
Sewaktu menapaki lereng Gunung Batu, saya masih teringat burung-burung hias milik salah satu warga di situ berkicau kesana-kemari, seakan berteriak-teriak minta dilepaskan dari sangkarnya. Tapi apa daya, saya tak bisa melepasnya.
Saat mendekati lokasi base camp, seekor elang (eagle) terlihat terbang melayang-layang di langit sore Gunung Batu yang kelabu karena mendung dan berawan pekat. Kendati tak begitu jelas, keberadaan elang itu membuatku terhibur.

Buatku, elang identik dengan pria perkasa yang bebas, tak suka di atur, mandiri dan sekaligus tegas. Andai ada reinkarnasi, saya sampai kepikiran ingin menjadi pria gagah bersayap kuat biar bisa melayang-layang tangguh seperti elang.
Untunglah ada Saiful A.Zy yang membawa kamera semi DSLR. Ketua Adat Pemuda Islam Pecinta Alam (PELITA) ini berhasil mengabadikan elang itu kendati kurang memuaskan karena langit semakin gelap.
Ketika saya perhatikan lagi, sepertinya hewan berdarah panas itu resah dengan kehadiran para pendaki gunung di hari pertama tahun 2015 itu.

Saya tidak tahu apakah jangkrik itu jantan atau betina.
Tetap saja apapun keistimewaannya itu, saya tidak mau membawanya pulang. Setelah ku potret, ku biarkan serangga omnivora itu melompat kembali ke habitatnya.
Pendaki dari kelompok lainnya juga mengaku bertemu dengan kalajengking, yang termasuk dalam sekelompok hewan beruas dengan delapan kaki (oktopoda), sewaktu turun dari puncak. Ini membuktikan bahwa Gunung Batu dihuni beragam satwa serangga dan unggas.

, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.