![]() |
Nisan para manusia rantai di Sawahlunto (Shafa/detikTravel) |
penjajahan Belanda tak memiliki nama, mereka pun hanya dilabeli nomor.
Saat meninggal, nisan mereka hanya sebuah batu dengan nomor. Anda bisa
mengintip nisannya di Museum Goedang Ransoem, Sumbar.
Belanda tak
hanya menginginkan rempah dari Indonesia, namun juga ingin mengeruk
kekayaan alam. Salah satu kekayaan alam yang terendus Belanda adalah
batu bara di Sawahlunto, Sumatera Barat.
“Kota ini jadi kota
pertama yang menjadi tambang batu bara di Indonesia,” ujar tur guide
Sawahlunto, Chika, saat detikTravel berkunjung ke sana bersama rombongan
dari Mandala Airlines beberapa waktu lalu.
Beribu budak dikirim
ke sini untuk menggali kekayaan alam yang berada di bawah tanah Ranah
Minang ini. Tak ada penjajah yang tak kejam, begitu pula dengan Belanda.
Mereka sama sekali tidak memikirkan kesejahteraan para budak. Kaki
budak ini saling terikat rantai dan batu berat, agar tidak bisa kabur.
Maka dari itu, mereka disebut sebagai manusia rantai.
Saking
banyak dan tidak ada rasa kemanusiaan dari para penjajah, para manusia
rantai ini tak diberi nama. Siapapun namanya, mereka hanya dipanggil
berdasarkan nomor yang telah diberikan oleh Belanda. Saat sakit dan
akhirnya meninggal, nisan mereka pun tetap tak bernama melainkan hanya
nomor.
Batu sepanjang setengah meter dan selebar sekitar 20 cm
ini hanya dihias nomor yang menjadi nama mereka. Tak tanda lain
melainkan nomor itu. Saat yang meninggal terlalu banyak, mereka pun
tidak dikubur dengan cara yang baik. Jika penasaran, Anda pun bisa
melihat sendiri bagaimana bentuk nisan, pakaian apa yang mereka kenakan
pada saat itu dan bagaimana bentuk rantai yang mengekang kaki mereka di
Museum Goedang Ransoem di Sawahlunto, Sumatera Barat.
Museum
Goedang Ransoem ini sebenarnya bekas dapur umum yang digunakan untuk
memasak makanan bagi para budak yang bekerja di tambang. Di sini
terdapat beberapa bangunan yang dulunya ruangan-ruangan untuk memasak.
Kini, dapur umum pun disulap menjadi sebuah museum yang berisi alat-alat
memasak yang digunakan pada masa lalu.
Ada kuali, wajan, tempat
nasi, sendok pengaduk yang semuanya berbentuk gigantis. Maklum, mereka
memasak untuk ratusan bahkan ribuan orang. Di museum ini juga ada
replika makanan-makanan yang diberikan untuk para manusia rantai.
Selain
masalah dapur, di dalam bangunan yang didirikan pada tahun 1918 ini
juga ada baju para manusia rantai, beserta rantai dan alat menggali
mereka. Tak jauh dari baju penambang, ada juga sebuah nisan yang
disertai penjelasan. Ingin melihat lebih banyak nisan, ada di bagian
belakang, bangunan utama, dekat dengan generator raksasa berwarna merah
tua.
Museum ini berada tidak jauh dari Lubang Mbah Soero yang
juga ada di Sawahlunto. Museum ini buka setiap hari kecuali hari Senin.
Asyiknya, tiketnya murah, hanya Rp 4.000!

, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.











