Kalau Komodo menjadi raja di Taman Nasional Komodo lantaran populasinya banyak dan penyebarannya merata hingga mudah dilihat. Sebaliknya Badak Jawa, sang primadona Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), amat sulit dijumpai. Perlu kiat tersendiri untuk berhasil melacaknya, selain didukung faktor keberuntungan.
Sampai kunjungan kelima Ke TNUK ini, saya pun belum berhasil melihat hewan purba ini secara utuh di habitatnya. Kunjungan sebelumnya, saya cuma melihat dan memotret jejak tapak dan kotorannya, kali ini kebagian kubangannya saja. Dalam hati bertanya, apa yang sebenarnya terjadi dan kemana sang primadona sembunyi?
Keberhasilan melihat kubangan badak bercula satu ini bukan tanpa usaha. Saat berada di Pos Karang Ranjang, saya berusaha menggali data tentang keberadaan satwa berkulit tebal berbentuk pelana ini. Untunglah R. Uus Sudjasa, yang ketika itu menjabat ketua Rhino Monitoring & Protection Unit (RMPU), dengan ramah membeberkan semua prilaku dan permasalahan Badak Jawa di habitatnya ini.
Menurut Uus, hasil sensus tahun 2003, populasi Rhinocerus sondaicus ini di TNUK kurang lebih 58 ekor. “Selain itu hidupnya soliter alias menyendiri, lebih sering keluar pada malam hari dan daya jelajahnya luas mencapai 25 Km persegi, inilah yang membuatnya sulit dilihat,” paparnya.
Sensus Badak Jawa yang dilakukan saat ini merupakan perpaduan antara tiga sistem yakni sistem transek, membuat jalur di hutan selebar 1 meter dengan jarak 2 KM lalu mengecek arah lintasan badak, menghitung jumlah dan usia tapak serta lokasinya. Kedua, sistem penempatan kamera trap, memasang kamera infrared di lintasan badak dan terakhir sistem pengujian DNA, dengan mengambil ta’ik dan urine-nya. Dari ukuran tapak badak bisa diketahui umurnya. “Tapak 29-30 Cm itu badak dewasa, 16-17 Cm badak remaja, sedangkan dibawah 16 Cm itu anak badak,” terangnya.
Pakan utama badak adalah tanaman. Ada 200 jenis tanaman badak yang tumbuh di kawasan ini antara lain sulungkar, segel, teleksa, jinjing kulit, dan tepus. “Semua tanaman itu mengandung obat-obatan, biasanya yang dimakan pucuk daun mudanya,” kata Uus. Kendati hewan herbivora, namun bobot badak dewasa bisa mencapai 1,3 ton. Bahkan dulu pernah ditemukan fosil badak raksasa, seberat 2,3 ton dengan panjang 3,1 meter dan tinggi 1,6 meter.
Berdasarkan sensus badak dengan sistem transek di daerah aliran sungai di wilayah pantai selatan, terdeteksi perubahan daya jelajah badak. “Dulu jangkauannya di wilayah pantai utara tapi sekarang ke kawasan selatan termasuk Semenanjung Ujung kulon yang merupakan zona inti,” jelasnya.
Hasil pemantauan kamera trap, ternyata populasi badak jantan sekarang ini lebih banyak daripada betina. Perbedaan jenis kelamin badak menurut Uus, dapat dilihat dari bentuk culanya. Cula merupakan kumpulan serabut rambut yang mengeras dan mengandung zat karofin. “Cula jantan lebih meruncing, panjangnya berkisar antara 15-20 Cm. Yang betina culanya seperti batok kepala oleh sebab itu disebut cula batok,” terangnya.
Mitos Keliru & Dilema
Populasi Badak Jawa yang sedikit ini masih pula terancam oleh ulah para pemburu. Ancaman lain terhadap TNUK adalah pemanfaatan hutan oleh masyarakat sekitar kawasan termasuk pengunjung yang tidak mengerti nilai-nilai konservasi.
Menurut Uus, pemburu badak menggunakan locok, yakni senjata laras panjang sekitar 1,5-2 meter dengan amunisi besi dan timah. Badak yang mati hanya diambil cula, kuku dan taringnya kemudian dijual ke kolektor atau ke peramu obat tradisional Tionghoa, sementara tulang iganya untuk bahan baku pipa rokok.
Masih kuatnya mitos bahwa cula badak mujarab untuk obat kuat dan penjernih air laut, membuat orang terpikat. Terlebih dengan iming-iming imbalan harga tinggi terutama dari kolektor, membuatnya diburu. Banyak orang mengira bahwa cula badak sama dengan tulang. Padahal cula itu kumpulan dari serabut rambut yang mengeras. cula akan mengalami keropos sedangkan tulang tidak. Ada juga yang menggagap cula Badak itu senjata. Sebenanya cula bagi badak adalah perhiasan yang antara lain untuk membedakan mana jantan dan betina “Semua itu mitos keliru. Sebab berdasarkan penelitian sebuah LSM dan beberapa perguruan ternama, ternyata cula badak tidak berkhasiat,” jelasnya.
Meski keberadaan Badak Jawa dilindungi oleh UU Konservasi No. 5 tahun 1990, dengan memberi sanksi 5-20 tahun kurungan penjara atau denda Rp 200 juta, namun pendekatan secara fisik itu kurang optimal. “Itu tak membuat para pemburu takut dan jera, padahal pernah ada yang tertangkap dan dijebloskan ke buih selama lima tahun,” ujarnya.
Belakangan RMPU dan pihak terkait melakukan cara lain untuk menanggulangi masalah itu, seperti pendekatan keagamaan, yakni dengan memberikan penyuluhan kepada para kyai dan tokoh masyarakat tentang pentingnya kelangsungan hidup badak. Dan pendekatan kesejahteraan, yakni melatih penduduk menjadi pengrajin patung atau replika badak, pemandu maupun porter. Kedua langkah preventif tersebut dilakukan dengan mendatangi langsung penduduk di sekitar pegunungan. Dan cara terakhir, berupaya memutus jalur perdagangan cula badak di Jakarta, Bangkok, dan Singapura.
Seperti dialami beberapa taman nasional lain, kepentingan konservasi dan ekonomi pedesaan kerap berbenturan, termasuk menyangkut pemanfaatan hutan kawasan. Selalu ada dilema di sana. Idealnya, keduanya berjalan serasi, selaras, dan seimbang. Ada timbal balik untuk masyarakat jika memang dilarang memanfaatkan hutan taman nasional, salah satunya dengan menciptakan lapangan pekerjaan.
Selama ini, tambah Uus, perhatian Pemda terhadap kelangsungan badak masih kurang. Program Konservasi Badak Jawa Terpadu, baru pada tahap wacana. Pelestarian alam dan masalah perekonomian masyarakat lokal justru dibebankan ke pihak taman nasional. “Seharusnya Badak Jawa menjadi perhatian dunia karena sudah menjadi warisan alam dunia, sayang lobi-lobi Pemda untuk itu masih kurang,” jelas Uus.
Kubangan
Usai mendapat informasi lengkap, saya pun minta diantar ke kubangan badak yang terdekat dari Pos Karang Ranjang. Sayang, menurut petugas, lokasi yang dimaksud sudah lama ditinggalkan badak. Kubangannya mengering dan tertutup semak belukar. Dengan penjelasan tentang pentingnya gambar untuk kelengkapan dan keakuratan informasi, akhirnya Uus dan anggotanya, Untung Sunarko serta Tura, seorang pemandu, mengantarkan saya ke kubangan badak lain di pedalaman Semenanjung Ujung Kulon.
Dari Pos Karang Ranjang kami melewati trek umum sekitar 1 Km, lalu memasuki hutan sejauh kurang lebih 2 Km, menembus kerapatan pepohonan dan palem berduri. Akhirnya kami sampai di sebuah kubangan badak yang tak berpenghuni selebar 3-5 meter persegi. Beberapa jenis pakan badak tumbuh di sekitar kubangan yang tergenang air berwarna coklat. “Kubangan ini kadang digunakan babi hutan dan biawak, dalam jangka sebulan biasanya badak akan kembali ke kubangan ini,” kata Untung.
Mei 2010 lalu, Uus yang kini menjabat sebagai Kepala SPTN Wilayah II Handeuleum menyerahkan hasil penemuan tulang Badak Jawa ke Kantor Balai Taman Nasional Ujung Kulon di Labuan, Pandeglang. Tulang itu ditemukan hari Kamis (20/5) sekitar jam 14.40 WIB di Blok Nyiur TNUK.
Menurut Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon Ir. Agus Priambudi MSc, ini tulang Badak Jawa pertama yang ditemukan tahun 2010. “Penemuan Tulang Badak Jawa terbanyak terjadi tahun1982 sebanyak lima ekor. Tahun 2003 satu ekor dan tahun ini baru satu ekor,” ungkapnya.
Badak Jawa termasuk binatang berusia lama karena bisa hidup antara 40 hingga 60 tahun, kendalanya perkembangbiakannya sangat lamban. Populasi Badak tahun ini belum terdata, tahun 2009 diperkirakan ada 50 ekor. Menurut Agus Primabodo, pihaknya tengah melakukan sensus badak untuk mengetahui jumlah pasti populasi Badak Jawa ini. “Pendataan ulang badak ini dilakukan dengan memasang kamera trap. Keuntungannya mendapatkan angka yang tepat dan bisa mengamati perilaku badak serta memprediksi umur rata-rata badak yang terpantau,” terangnya.
Uus menghimbau pengunjung TNUK dan masyarakat untuk ikut menjaga populasi Badak Jawa (rhinoceros sondaicus) mengingat badak tersebut merupakan salah satu badak purba yang masih hidup di Indonesia selain Badak Sumatera (dicerorhinus sumatrensis). Masih ada 3 spesies badak lagi yang ada di dunia, yakni Badak Hitam (diceros bicornis), Badak Putih (ceratotherium simum), dan Badak India (rhinoceros unicornis).
Uus juga memberikan tips sukses melacak dan melihat badak. Selain seijin pihak taman nasional, sebaiknya membentuk satu tim kecil yang terdiri dari dua orang pengunjung, seorang polhut, dan pemandu. Pengunjung yang datang rombongan, jelas tidak diijinkan melewati jalur inti atau lintasan badak, melainkan lewat trek wisata yang sudah ditentukan.
Saran berharga itu, tak ada ruginya dicoba agar beruntung melihat sang primadona Ujung Kulon pada kesempatan berikut.
Naskah & foto: Adji TravelPlus (Jaberio Petrozoa)
NB.: Tulisan ini boleh dikutip asal menyebutkan sumbernya.
, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.