
Di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara ada bermacam tradisi berusia ratusan tahun yang masih diindahkan warganya hingga kini. Salah satunya Pidoano Kuri, yakni pesta adat masyarakat Wabula di Kecamatan Wabula yang digelar sekali dalam setahun sebagai tanda ucap syukur atas hasil bumi terutama kuri atau ubi.
Bunyi tetabuhan dari ganda atau gendang berukuran sedang menyerupai beduk, namun kedua sisinya dilapisi kulit domba, terdengar bertalu-talu, tak jauh dari tepian pantai Desa Wabula, Kecamatan Wabula, Minggu sore itu, (23/6/2013).
Alat pukul tradisional Wabula itu ditabuh secara kompak oleh dua pria Wabula yang mengenakan peci hitam, selepas Ashar. Keduanya memukul-mukul ganda itu sambil duduk di teras kayu di sudut kanan galampa atau balai pertemuan adat berbentuk rumah panggung seperti pendopo kalau di Jawa.
Di sebelah mereka, ada seorang pria lagi yang kebagian tugas memukul gong. Namun suara ganda terdengar paling dominan. Kedua alat musik tradisional itu digantung di salah satu tiang atap galampa.
Ketukan pukulan kedua penabuh ganda itu dari awal hingga akhir itu-itu saja. Tidak variatif, jadi terkesan monoton. Temponya tidak lambat, tidak juga terlalu cepat. Disitulah letak ciri khasnya sehingga mudah diingat.
Suara tetabuhan ganda itu perlahan-lahan terbawa oleh sapuan angin laut yang berhembus ke pantai sampai ke ka’ana atau rumah panggung khas warga Wabula terjauh dari perkampungan itu.
Bunyinya juga berperan sebagai sinyal pemberitahuan agar warga Wabula yang belum datang ke lokasi acara segera hadir karena acara akan dimulai sebentar lagi.
Benar saja, tak berapa lama warga Wabula mulai dari orang tua, muda-mudi, dan anak-anak berdatangan. Ada yang mengendarai sepeda motor dan tak sedikit yang berjalan kaki. Bahkan ada beberapa pengunjung luar dari kecamatan lain yang letaknya cukup jauh dari Wabula.
Kehadiran mereka menambah ramai jumlah pengunjung yang sudah ada sebelumnya.
Ratusan warga mengitari lapangan berpasir pantai berbentuk persegi empat yang terletak di antara galampa dan Masjid Nur Muhammad, masjid utama Desa Wabula.
Sejumlah orangtua duduk di kursi plastik di bagian terdepan lapangan. Ada juga yang duduk di undakan dan teras kayu galampa. Tak sedikit yang berdiri bagian dalam galampa yang berlantai kayu. Sebagian lagi berdiri di bagian belakang lapangan, di teras, dan di lantai masjid bagian luar. Bahkan sejumlah anak muda yang berada di barisan belakang lapangan, berdiri di atas meja-meja kayu agar dapat melihat atraksi yang akan segera dimulai.
Tak lama kemudian, parabela atau kepala adat masyarakat Wabula yang bernama La Dij (57) memerintahkan para tokoh masyarakat untuk memulai acara.
La Dij dan sejumlah tokoh masyarakat yang tampil mengisi acara itu mengenakan baju kebesaran berupa jubah atau baju panjang dari tenun khas Wabula berwarna cerah dan celana panjang yang kemudian ditutupi dengan balutan pidongko atau sarung tenun wabula buat laki-laki yang bercorak kotak-kotak. Mereka juga mengenakan kampurui atau ikat kepala laki-laki khas Wabula.
Satu per satu para pria Wabula mempertontonkan atraksi cara memegang dan memainkan kapiso atau pisau seperti keris dengan bermacam gerakan sambil diiringi tetabuhan ganda dan gong. Penonton bersorak dan tertawa setiap kali melihat ada yang tampil dengan gerakan aneh dan lucu.
Selanjutnya disuguhkan Tari Mangaru dan atraksi pencak silat. Menurut Rachmat, Tari Mangaru merupakan tarian perang yang ditampilkan oleh tiga orang lelaki. Dua orang sebagai petarung, satu orang lagi sebagi pelerai atau wasit yang menggunakan kinia atau alat berbentuk perisai kayu dan tongkat berbulu untuk melerai.
Tari perang tersebut menggambarkan masyarakat Wabula pada saat itu dalam mempertahankan diri dari serangan musuh dan juga menjaga kedaulatan daerahnya. “Pada prinsipnya untuk pembelaan diri dan mempertahankan negeri dari serangan lawan,” jelas Rachmat, pengamat Pidoano Kuri yang juga seorang pegawai Pemkab Buton.
Saat tari perang, dua orang saling berkelahi memakai kapiso yang diawasi seorang wasit. Mereka saling mengarahkan senjatanya ke tubuh. Kendati tidak sunguh-sungguh namun cukup mengerikan. Penonton pun bersorak meriah mendukung jagoannya masing-masing beraksi.
Kemudian keahlihan pencak silat diperagakan bukan hanya para lelaki yang berusia uzur, pun beberapa pemuda setempat.
Kata Rachmat lagi, sebenarnya acara ini diperuntukan buat siapa saja, pria dan perempuan, orang tua dan muda-mudi. “Tapi belakangan ini karena terkontaminasi dengan budaya luar. Minat anak muda terhadap latihan pegang kapiso dan pencak silat mulai merosot, sehingga peran orangtua terlihat lebih menonjol,” akunya.

Atraksi kesenian yang berakhir jelang Magrib itu merupakan acara penutupan dari serangkaian pesta adat Pidoano Kuri yang berlangsung dua hari, 22-23 Juni 2013 lalu.
Namun yang menjadi primadonanya, tentu saja kuri atau ubi kayu. “Kuri adalah hasil utama pertanian desa ini,” ujar La Dij.
Keesokan sorenya diisi dengan pertunjukan kesenian berupa Tari Mangaru, latihan pegang kapiso, dan atraksi pencak silat sebagai acara hiburan sekaligus penutup.

Naik Pete-Pete atau Sewa Mobil
Lewat darat, dari Kota Baubau jalannya sudah beraspal mulus sampai dengan Pasarwajo.

, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.