Entah mengapa ketika saya sedang berada di luar kota, saya selalu bangun lebih awal dari waktu yang saya pasang pada alarm jam saya. Waktu sudah menunjukkan pukul 04.00 pagi, saya bangun 30 menit lebih awal dari alarm yang saya pasang tadi malam. Saya bergegas ke kamar mandi dan mempersiapkan diri menyambut pagi, kemudian menyibak gorden kamar dan melihat situasi di luar. Ah, masih sepi dan gelap. Saya bergegas membuka pintu dan melihat situasi di luar cottage. Kata mas penjaga kemarin, kalau menjelang Subuh seperti ini kami harus lebih berhati-hati, karena terkadang primata penghuni Papuma sedang “beraksi”, hmmm berkeliaran di sekitar penginapan lebih tepatnya. Maklum saja, cottage yang dikelola di Pantai Papuma berlokasi di dekat hutan di mana primata-primata liar tersebut hidup bebas di sana.

Setelah situasi saya rasa kondusif, saya mengajak teman saya untuk bergegas menuju pantai guna menantikan terbitnya matahari pagi bersama. Sekitar pukul 04.30 kami pun keluar cottage dan berjalan kaki menuju ke pantai Papuma. Di luar dugaan saya, sudah terlihat beberapa orang berlalu-lalang menuju pantai untuk menantikan terbitnya mentari. Sebagian besar dari mereka adalah wisatawan yang tidak menyewa penginapan, melainkan tidur di dalam kendaraan yang mereka bawa. ada pula rombongan nelayan yang menanti kapal tiba setelah melaut semalaman. Suasana hening tiba-tiba berubah menjadi riuh. Pengunjung mulai berdatangan ke Pantai Papuma. Sorot lampu kendaraan mulai terlihat dari atas bukit. Kami berdua duduk di pasir pantai, menikmati semburat warna kemerahan di ufuk timur, sambil sesekali merasakan hembusan semilir angin pantai. Untunglah angin pantai di Papuma pagi itu tidak terlalu terasa kencang, jadi saya tidak terlalu khawatir jika masuk angin. Syahdu, rasanya saya sudah lama sekali tidak pernah bangun pagi untuk menanti terbitnya sang mentari.




Cahaya pagi pun semakin cerah, walaupun matahari belum menampakkan bentuknya secara utuh. Perahu-perahu nelayan yang semalam berlayar ke lautan pun satu-per satu mulai berlabuh ke daratan. Seperti biasa, kekompakan nelayan nampak terlihat. Mereka saling bahu-membahu tolong-menolong untuk mengangkat perahu hingga menuju daratan. “Satu, dua, tiga, angkat perahunya !”, aba salah satu nelayan yang diikuti oleh nelayan lain yang mengangkat perahu tersebut. Ada satu keunikan yang saya amati dari perahu nelayan tersebut. Adalah perangkap yang terbuat dari sabut kelapa yang dirangkai pada jaring. Perangkap ini berfungsi untuk menjaring nener, yaitu sebutan untuk anak ikan bandeng. Nener-nener tersebut kemudian akan dipelihara di dalam tambak hingga mencapi ukuran konsumsi kemudian dipanen dan dijual ke pasaran.

Usai berbincang dengan para nelayan yang baru pulang mencari ikan, saya pun lanjut melangkahkan kaki ke sebuah bagunan vihara yang berada di tepi Pantai Papuma. Vihara tersebut terletak di dekat bukit, memberikan sedikit kesan tersembunyi. Bangunan vihara tersebut diberi pagar yang terkunci dan tidak semua orang dapat masuk ke kompleks bangunan ini. Saya pun hanya sekedar mengambil gambar dari luar pagar, kemudian pergi berlalu meninggalkan bangunan diiringi dengan bau hio yang dibakar namun tercium samar. Saya kembali ke pantai, kali ini matahari mulai terlihat malu-malu menampakkan wujudnya. Akhirnya apa yang kami nanti-nanti tiba. Kami mengambil beberapa gambar dan mengabadikan suasana saat matahari pagi perlahan-lahan menampakkan wujudnya. Akhirnya misi kami ke Papuma lengkap sudah, menantikan matahari terbenam di kala petang dan menyambut mentari pagi dari peraduan. Kami pun melanjutkan langkah menyusuri pantai, sambil sesekali menikmati hempasan ombak, kemudian pergi ke warung makan untuk menyantap sarapan. Terima kasih Papuma untuk kenangan indah yang kau berikan untuk kami dalam kunjungan kali ini.

, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.