Umum

Merdang Merdem – Gastronomi & Refleksi Prinsip Kedaulatan Pangan Suku Karo

Masyarakat Indonesia yang pada umumnya berbasis agraris memiliki corak
kebudayaan dengan karakteristik agraris pula. Legenda Dewi Sri yang
menjadi bagian dari sistem kepercayaan dikalangan suku Jawa maupun Sunda
merupakan salah satu contoh corak budaya agraris dalam masyarakat
nusantara. Moda produksi pertanian tidak hanya berpengaruh dalam aspek
kepercayaan sebagai salah satu bagian dari keseluruhan sistem
kebudayaan, namun juga memberikan ciri bagi unsur-unsur kebudayaan
lainnya seperti sistem pengetahuan, teknologi serta kesenian.

Suku
Karo di Sumatera Utara sebagai bagian dari masyarakat agraris nusantara
juga memiliki corak kultural yang merefleksikan karakter agraris dari
masyarakat Karo. Salah satu tradisi masyarakat Karo yang tidak lepas
dari pola produksi pertanian ialah “Kerja Tahun” yang merupakan suatu
bentuk ritual atau upacara penyembahan kepada Sang Pencipta atau
Beraspati Taneh (dewa yang berkuasa atas tanah menurut agama Pemena atau
agama asli suku Karo) yang bertujuan menyukseskan setiap tahapan
aktivitas pertanian dan manifestasi dari harapan akan hasil panen yang
berlimpah.

Kerja Tahun atau dalam bahasa Karo
disebut “Merdang Merdem” adalah sebuah perayaan adalah kegiatan yang
dilakukan secara rutin setiap tahun dan biasanya dilaksanakan setelah
acara menanam padi di sawah selesai. Perayaan tersebut merupakan bagian
dari ucapan syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan menanam padi
telah selesai. Teriring doa agar tanaman padi tersebut diberkati
sehingga bebas dari hama dan menghasilkan panen yang berlimpah. Bila
upacara tersebut dilakukan pada masa panen (ngerires), maka hal itu
menjadi perwujudan rasa syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan
bertani telah selesai dengan aman dan sukses. Biasanya kerja tahun
diadakan oleh masyarakat yang berasal dari satu kuta atau kampung
tertentu.

Momen yang melibatkan seluruh warga kampung tersebut
biasanya juga dimanfaatkan muda-mudi sebagai ajang mencari jodoh. Setiap
acara merdang merdem biasanya dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron
yaitu acara tari tradisional Karo yang melibatkan pasangan muda-mudi.
Setiap kecamatan di Tanah Karo merayakan merdang merdem pada bulan yang
berbeda. Kecamatan Munte merayakan merdang merdem pada hari ke-26
beraspati medem kalender Karo yang biasanya jatuh di bulan juli.

Konon,
pesta sekampung tersebut sebegitu meriahnya sehingga lama perayaannya
sampai enam hari dimana setiap hari mempunyai makna yang berbeda. Para tetua di rumah adat Namo Ukur, merumuskan nama kerja tahun di Karo sebagai
berikut:

1. Hari Pertama (sada): Merdang Merdem – Cikor-kor
Kerja
tahun yang dilaksanakan saat dimulainya proses penanaman padi. Diawali
dari penyemaian benih sampai ditanamkan di ladang (merdang). Kerja tahun
ini biasanya dilakukan di daerah Tiga Binanga dan Munthe. Di hari
tersebut yang merupakan bagian awal dari persiapan menyambut merdang
merdem yang ditandai dengan kegiatan mencari kor-kor, sejenis serangga
yang biasanya ada di dalam tanah. Umumnya lokasinya di bawah pepohonan.
Pada hari itu semua penduduk pergi ke ladang untuk mencari kor-kor untuk
dijadikan lauk makanan pada hari itu.

2. Hari Kedua (dua): Nimpa Bunga Benih – Cikurung
Sering
juga disebut “ngamburngamburi”. Dilakukan ketika tanaman padi sudah
berdaun (erlayuk, ersusun kulpah), yaitu berusia sekitar dua bulan. Hal
ini biasa dilakukan di sekitar wilayah Kabanjahe, Berastagi, dan Simpang
Empat. Seperti halnya pada hari pertama hari kedua ditandai dengan
kegiatan mencari kurung di ladang atau sawah. Kurung adalah binatang
yang hidup di tanah basah atau sawah, biasa dijadikan lauk oleh
masyarakat Karo.

3. Hari Ketiga (telu): Mahpah – Ndurung
Tradisi
ini dilakukan ketika tanaman padi mulai menguning. Pelaksanaan kerja
tahun ini dilakukan di sekitar wilayah Barus Jahe dan Tiga Panah. Di
hari ketiga ini ditandai dengan kegiatan mencari nurung, sebutan untuk
ikan, di sawah atau sungai. Pada hari itu penduduk satu kampung makan
dengan lauk ikan. Ikan yang ditangkap biasanya nurung mas, lele yang
biasa disebut sebakut, kaperas, belut.

4. Hari Ke-empat (empat): Ngerires – Mantem atau Motong
Kerja
tahun dilaksanakan ketika padi telah dipanen, sebagai ucapan syukur
atas hasil yang diterima. Pelaksanaan tradisi ini biasa dilakukan di
daerah Batu Karang. Di hari tersebut adalah sehari menjelang hari
perayaan puncak, penduduk kampung memotong lembu, kerbau, dan babi untuk
dijadikan lauk.

5. Hari Kelima (lima): Matana
Matana artinya
hari puncak perayaan. Pada hari itu semua penduduk saling mengunjungi
kerabatnya. Setiap kali berkunjung semua menu yang sudah dikumpulkan
semenjak hari cikor-kor, cikurung, ndurung, dan mantem dihidangkan. Pada
saat tersebut semua penduduk bergembira. Panen sudah berjalan dengan
baik dan kegiatan menanam padi juga telah selesai dilaksanakan. Pusat
perayaan biasanya di alun-alun atau biasa disebut los, semacam balai
tempat perayaan pesta. Acara disitu dimeriahkan dengan gendang guro-guro
aron dimana muda-mudi yang sudah dihias dengan pakaian adat melakukan
tari tradisional. Perayaan tidak hanya dirayakan oleh penduduk kampung
tetapi juga kerabat dari luar kampung ikut diundang menambah suasana
semakin semarak. Pada hari itu pekerjaan paling berat adalah makan.
Karena setiap kali berkunjung ke rumah kerabat aturannya wajib makan.

6. Hari Keenam (enem), nimpa
Hari
itu ditandai dengan kegiatan membuat cimpa, makanan khas Karo, biasa
disebut lepat. Cimpa bahan dasarnya adalah tepung terigu, gula merah,
dan kelapa parut. Cimpa tesebut biasanya selain untuk hidangan tambahan
setelah makan. Tidak lengkap rasanya merdang merdem tanpa kehadiran
cimpa. Untuk kecamatan lain di Tanah Karo kegiatan nimpa diganti dengan
ngerires yaitu acara membuat rires yang dalam bahasa indonesia disebut
lemang. Cimpa atau lemang daya tahannya cukup lama, masih baik untuk
dimakan meski sudah dua hari lamanya. Oleh karena itu cimpa atau rires
cocok untuk dijadikan oleh-oleh bagi tamu ketika pulang.

7. Hari Ketujuh (pitu): Rebu
Hari
tersebut merupakan hari terakhir dari serangkaian pesta enam hari
sebelumnya. Pada hari tersebut tidak ada kegiatan yang dilakukan.
Tamu-tamu sudah kembali ke tempat asalnya. Semua penduduk berdiam di
rumah. Acara kunjung-mengunjungi telah selesai. Pergi ke sawah atau
ladang juga dilarang pada hari itu. Seperti halnya arti rebu itu sendiri
yang artinya tidak saling menegur, hari itu adalah hari penenangan diri
setelah selama enam hari berpesta. Beragam kesan tinggal melekat dalam
hati masing-masing penduduk kampung. Hari besok telah menanti untuk
kembali melakukan aktivitas sebagaimana hari-hari biasanya.

Semua
acara di atas dilakukan sesuai kepercayaan “pemena” dengan tata cara
dan perlengkapan tertentu yang berbeda di setiap fase dan daerah. Selain
hal di atas, kerja tahun juga memiliki fungsi lain yaitu mempererat
ikatan kekerabatan. Saat kerja tahun, seluruh anggota keluarga
berkumpul, termasuk yang dari luar daerah. Hal ini dimanfaatkan untuk
sarana pulang kampung, mengunjungi para kerabat, melepas rindu,
membicarakan hal-hal yang penting di tengah keluarga, sarana perjodohan
putera dan puteri mereka juga untuk hiburan.

Kerja Tahun (Merdang
Merdem) menjadi semacam perwujudan prinsip gotong royong dalam
masyarakat Karo. Setelah satu tahun disibukkan oleh kegiatan bertani
atau berladang yang juga dilaksanakan secara gotong royong, maka hasil
dari aktivitas pertanian itu juga harus disyukuri dan dinikmati secara
gotong royong pula. Pada masa kerja tahun, seluruh masyarakat kuta
saling berbagi kegembiraan tanpa adanya sekat-sekat tertentu.

Refleksi Kedaulatan Pangan
Upacara
kerja tahun merefleksikan kemandirian dan kedaulatan pangan masyarakat
kuta dalam suku Karo yang masih bersifat subsisten. Alokasi pangan bagi
perayaan kerja tahun serta sistem logistik yang kuat mencerminkan
kearifan lokal yang tangguh dalam hal kedaulatan pangan. Pola pertanian
atau perladangan masyarakat Karo sangat memperhatikan pemenuhan
kebutuhan penduduk akan pangan. Maka jangan heran bila kita tidak akan
menemukan peristiwa kekurangan pangan dalam sejarah kuta di Tanah Karo,
kecuali yang disebabkan oleh faktor eksternal seperti serangan dan
penjarahan berbagai kuta yang dilakukan kolonialis Belanda di masa
penjajahan.

Dalam konteks masa kini, pelaksanakan kerja tahun
telah bergeser dari upacara yang mencerminkan harapan dan rasa syukur
atas hasil panen yang melimpah menjadi hanya ritual-ritual yang bersifat
seremonial untuk kepentingan pariwisata. Seiring dengan perubahan
sistem produksi dari pertanian komunal menjadi kapitalisme industrial
pada masyarakat Tanah Karo, upacara kerja tahun pun mengalamai
komodifikasi. Hal tersebut menjadi suatu keniscayaan dalam sistem
kapitalisme yang berdasarkan paradigma ekonomi formalis karena menilai
segala sesuatu dari nilai ekonomis semata.

Pergeseran nilai dalam
ritual kerja tahun juga dipengaruhi oleh dianutnya agama-agama semit
semacam Kristen dan Islam oleh sebagian besar masyarakat Karo. Sementara
kerja tahun merupakan ritual yang erat dengan agama Pemena sebagai
perwujudan rasa hormat dan syukur pada sang Beraspati Taneh.

Walaupun
ada pergeseran jaman, antusias masyarakat Karo untuk menyelenggarakan
kerja tahun tetap saja besar, walaupun membutuhkan persiapan waktu,
biaya dan tenaga kerja. Antusias tersebut tidak hanya pada masyarakat di
desa namun juga yang sudah bermukim di luar. Hal ini terlihat pada
kenyataan bahwa acara ini tidak pernah terlewatkan di setiap tahun serta
tetap saja terjadi arus mudik masyarakat untuk menghadirinya.

Masyarakat
Karo seperti masyarakat lainnya tentu mengalami dinamika yang
mangakibatkan terjadinya perubahan-perubahan. Kerja tahun sebagai
tradisi yang merupakan kekayaan budaya masyarakat tetap dapat bertahan
dalam artian bahwa pelaksanaan yang tetap rutin dilaksanakan pada setiap
tahun. Namun sejalan dengan perubahan dalam masyarakat, harus diyakini
bahwa telah terjadi proses adaptasi terhadap kondisi-kondisi di atas.
Sangat memungkinkan bahwa faktor ekonomi dan religi yang menjadi konteks
dan fungsi primer pelaksanaannya sudah bergeser bahkan tidak ditemukan
lagi dalam pelaksanaan kerja tahun tersebut. Bahkan konteks dan fungsi
lain yang sudah lebih dominan, seperti hiburan, prestise, dan sebagainya
yang mewarnai pelaksanaannya.

Apapun yang terjadi dengan upacara
kerja tahun kini, ritual tersebut tetap layak dijadikan referensi bagi
segenap elit borjuasi yang memegang kendali atas negeri ini. Lebih
tepatnya referensi mengenai prinsip kedaulatan pangan yang kini tergerus
oleh arus liberalisasi. Budaya agraris masyarakat Karo serta masyarakat
agraris lainnya di nusantara hendaknya menjadi contoh betapa kebudayaan
masyarakat Indonesia sejatinya telah memiliki prinsip kemandirian yang
sejalan dengan kemakmuran bersama. Perbedaan bentuk masyarakat bukanlah
alasan bagi pengabaian nilai-nilai kearifan lokal yang masih relevan
dengan situasi terkini Republik ini.

Artikel referensi:
– Wikipedia
– Diskusi dengan Katarsada Ketaren & Tima Ketaren di Rumah Adat Namo Ukur


, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top